Thursday 5 November 2015

7: Safety and Tears (Part 1)


“Hei, Per.” Suara yang tidak asing bagiku memanggilku saat aku sedang menunggu di barisan dan sebuah tangan memegang bahuku. “Apa kabarmu?”
“Oh, Yo Pete. Aku baik-baik saja.” Aku menatapnya seketika.
“Oi!” Entah dari mana, dia memukul kepalaku. “Kenalilah kakak kelasmu dengan baik.”
“Tch, apa aku harus? Kau bertingkah seperti kita ini tidak kenal atau apalah itu.” Aku berbicara sambil mengejeknya. Aku mengenalnya sejak aku kecil, pergi bermain bersama di taman, bahkan pergi liburan bersama. Tapi dia tidak pernah peduli dengan caraku memanggilnya.
“Kau lihat.” P’Pete melangkah maju melawatiku dan mengambil barisanku dengan sebuah senyuman kecil.” Karena kau tidak sopan, aku mengambil alih barisanmu.
“Aw. P’Pete ini adalah penindasan.” Itu hanya bualanku saja, dia tau bagaimana cara membuat keributan lebih baik dariku. Dia menggunakan alasan ini untuk mengambil barisanku. Setelah kami berbicara sebuh topik yang manarik, aku teringat tadi aku sedang memegang poster konser live, dan kami tau, aku aku pikir ini adalah waktu yang tepat untuk mengingatkan kembali siapa yang memegang semua kartu. “Inilah yang kudapat setelah aku membantumu. Kau tau satu hal tentang s—“ Tiba-tiba P’Pete menutup mulutku dengan tangannya, dan itu membuatku terdiam. Dia tidak mengucapatkan apapun tapi matanya bisa menyampaikan apa yang ingin ia katakan ‘Kita sedang di tengah-tengah kantin, dipenuhi oleh banyak orang. Janga mengucapkan hal seperti itu ditengah-tengah mereka.
“Bro, jaga mulutmu.” Sambil menggenggam mulutku dia mendekat ke wajahku, dan dia berbisik ketelingaku. Aku tidak terkejut kalau dia tidak mau orang-orang disekolah tau. Aku menganggukkan kepalaku dan akhirnya dia melepaskan genggamannya. Sial, dia bisa menahanku begitu kuat untuk pria sekurus dia. ‘Jangan kira itu aku, Kita tidak membicarakan diriku’
“Oh, sepertinya ada seseorang yang tidak mau ada rumor yang tersebar.” Aku membalasnya. Dengan senyumanku yang terlihat seperti iblis dengan mudah dia masuk dalam perangkapku. “Aku penasaran dengan apa yang akan terjadi jika aku memberitahu Knott rahasia kecil ini?”
“Coba saja, kubunuh kau.”  Aku tidak tau dari mana dia berlajar mengancam seperti itu? Itu membuatku takut jadi aku meloncat kebelakang. Aku mau membuat lelucon dengan seorang psiko.
“Aku hanya bercanda.” Sambil menggosok kepalaku, aku mencoba untuk menenangkannya. Aku tidak mau sampai dia selalu metatap ku dengan tatapan iblis setiap kali kami bertemu. “Bagaimana kalau kita bertukar?”
“Baiklah, apa yang kau inginkan?” Sekarang dia berbicara dengan nada yang lebih enak untuk didengar.
“Belikan aku dua piring makan siang.” Kami sama-sama mendapat apa yang kami inginkan dan aku tidak perlu berdiri lama untuk mengantri makanan.
“Kau rakus sekali?” P’Pete menggerutu saat dia membuka dompetya.
“Yang satunya bukan untukku. Itu untuk Win.” Memangnya siapa aku ini? P’Noh? Aku juga bisa berbagi makananku, aku tidak serakus itu. “Dia sudah menjagakan tempat untukku.”
“Baiklah.” Sambil menghela nafas, P’Pete setuju tapi dia menyuruhku untuk tidak meninggalkan antrian. “Baiklah, setidaknya tetaplah disini untuk menemaniku. Sungguh bosan mengantri sendirian seperti ini.”
“Oke, tapi jangan lupa untuk mengantarkan makanan kami nanti.” Berdiri beberapa menit untuk mendapatkan makanan gratis tidak akan membunuhku. Aku mengangkat tanganku dan menunjuk ke arah dimana Win sedang menunggu untuk memberitahu P’Pete dimana dia harus mengantarkan makanannya.
Sudah cukup lama kami tidak berkomunikasi seperti ini, dan itu tidak termasuk saat dia meminta bantuan di lain hari. Kelompok kami sering pergi bersama sampai akhirnya tidak lagi karena P’Earn pindah. P’Pete lebih sering pergi bersama mereka yang lebih tua, dan meninggalkanku. Aku tidak masalah dengan itu karena aku masih punya Win.
Pembicaraan kami berubah saat P’Pete bertanya tentang Win dan itu membuat percakapan kami berakhir cepat. Dengan apa yang sudah terjadi, aku sangat sulit untuk bicara dan aku tidak yakin kalau Win mau membiarkan orang lain untuk tau tentang dirinya. Mataku tertuju pada tempat duduk dimana teman baikku berada, dimana dia sedang duduk malas sambil menopang dagunya dengan kedua tangannya. Saat melihat ke arah wajah dan matanya, kau tidak akan pernah mengira dia memiliki luka yang amat dalam.
Aku rasa ini semua membuat keadaanku menjadi tidak enak saat aku menyuruh P’Pete mengantarkan makanan ke mejaku. Apa yang akan mereka katakan jika aku meninggalkannya sendirian saat mengantri? Saat berjalan kearah meja kami, aku mengambil handphone dan earsetku, dan memasangnya ke telingaku. Ada sebuah lagu bagus yang sudah aku unduh dan aku ingin Win mendengarkannya, aku pikir dia akan menyukainya.
Sebelum aku duduk, aku menyempatkan diri untuk melihat keadaan sekitar dan mataku saat itu tertuju pada seseorang di dekatku. P’Ohm sedang duduk bersama Mick dan aku bisa melihat mereka sedang berbagi minuman dengan menggunakan sedotan yang sama. Aku tidak pernah melihat P’Ohm selembut itu, memegangkan cangkir plastik untuk Mick dan Mick terlihat senang. “Aku penasaran kapan mereka memulainya?” Aku bergumam sendiri, aku senang melihatnya.
“Apa kau baru saja bilang sesuatu?” Suara Win membuat ku langsung melihat kearahnya. Aku duduk disampingnya dan melambaikan tanganku padanya, dan menggelengkan kepalaku untuk memberi tahunya tidak ada apa-apa. Untuk meluruskannya, Win memberiku senyuman bingung saat dia melihat kalau aku tidak membawa apa-apa. “Hei, Per. Aku pikir kau yang akan memesan makanan kita?”
“Tenang saja. Itu sedang dalam perjalan.” Aku melihat kearah P’Pete diantrian. Setelah itu aku berbalik melihat ke arah Win, lalu aku membelai kepalanya. “Aku tidak akan membairkanmu kelaparan.”
Setelah itu, P’Pete datang ke arah meja kami dan berhati-hati untuk meletakkan makanan kami.
“Umm, Hi P’Pete. Terima kasih sudah membawakan makanan kami.” Win melihat kearahnya dalam keadaan bingung.
“Tidak masalah, Win.” P’Pete memberi senyuman pada Win dan lalu dia melihat ke arahku sebelum dia pergi berjalan ke arah dimana P’Earn sedang duduk.
“Ada apa Per? Kenapa P yang membawakan kita makanan?” Ia berbicara sambil mengambil sendok dan garpu, lalu mencoba makanan yang dibawa P.
“Ada hutang yang harus dia bayar. Itu saja.” Sambil meyakinnya aku mencoba untuk mencari lagu yang tadi aku bicarakan.
Aku mendengar sebuah keributan datang dari arah dimana P’Pete pergi dan aku melihat sesuatu yang aneh. Masih banyak tempat kosong yang bisa ia dudukki, tetapi P’Pete malah duduk di pangkuan P’Earn sambil berargumentasi. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan tapi itu terlihat menyenangkan. “Hey, Winnie. Lihat ini.” Aku tidak bisa menahan tawa saat aku menunjuk kearahnya.
“Apa yang mereka lakukan?” Matanya tertuju pada mereka, dan Win pun tertawa. “Aku tidak tau kalau mereka itu adalah sepasang kekasih.”
Aku tidak tau apa mereka ia atau tidak tapi aku pikir seharusnya ia.” Karena hal ini aku jadi teringat tentang percakan yang tadi aku lakukan dengan P’Pete dan aku penasaran siapa kah orang yang ia bicarakan saat aku sedang melihat tingkahnya bersama P’Earn. Aku menggelengkan kepalaku untuk mencoba kembali fokus dalam mencari lagu yang tadi aku ingin cari, “Mereka sempurna untuk satu sama lain.”
Ini Dia! Aku mengambil salah satu earset ku, dan aku pasangkan ke telinga Win dan musikpun mulai dimainkan. “Apa kau pernah mendengar lagu ini?”
Have you got color in your cheeks’
Do you ever get the feeling that you can’t shift the tide
That sticks around like something’s in your teeth
And some aces up your sleeve
Have you no idea that you’re in deep
I dreamt about you nearly every night this week
How many secrets can you keep’
‘Cause there’s this tune I found that makes me think of you somehow
When I play it on repeat
Until I fall asleep
Spilling drinks on my settee
(Do I Wanna Know ~ Artic Monkeys)

“Sepertinya pernah.” Win mengucapkannya setelah ia mendengarkan lagu yang kuputarkan.
“Lagu mereka keren.” Biasanya, Win dan aku suka dengan hal yang sama jadi aku merasa senang dengan hal itu, dan dia pasti juka akan menyukainya seperti sebagaimana aku menyukainya.
“Aku rasa aku pernah mendengarnya tahun lalu.” Sambil melihat kearahku, Win memberiku senyuman, dan dia menggoyang kepalanya saat musik dimainkan.
“Aku sangat suka lagu ini.” Sambil mengangguk, aku tersenyum dan makan makananku. Aku tau dia akan menyukainya.
*******************
**********
****
Sore ini terasa begitu cepat, setelah pelajaran selesai aku mengemaskan barang-barangku dan pergi ke ruang band. Sebentar lagi audisi konser live akan dimulai jadi aku harus berada di sana bersama dengan anggota band yang lain. Aku berhenti sejenak di meja Win saat dia sedang menyusun kertasnya.
“Hei, Win. Jangan lupa untuk datang dan melihatku bermain.” Aku bicara padanya sambil meninju pelan mejanya Win.
“Jangan Khawatir. Aku akan langsung kesana saat aku sudah selesai.” Sambil tersenyum Win menatap kearahku. “Bandmu nanti akan tampil kan?
“Ya. Kau bisa menyelesaikan semuanya dulu dan kau akan sampai tepat waktu.” Aku meyakinkannya agar dia pergi untuk melihatku. “Sampai bertemu nanti.”
Win mengangguk dan melambaikan tangannya saat aku berjalan keluar dari kelas. Beberapa menit kemudian aku sampai di ruangan klub, dan karena ramai aku harus menyelit diantara kerumunan orang yang ada di ruang klub. Aku mencoba mencari anggota timku, dan aku menemukan mereka sedang duduk di dekat dinding. Saat aku melihat ada sebuah kursi kosong disana, aku dengan segera menyambar kursi itu dan untuk Win aku akan mencarikannya nanti saat dia sudah sampai. Aku dapat merasakan semangat pada kontestan yang ada di ruangan band hari ini.
Aku bersama teman-temanku sudah siap dan kami yakin bisa untuk untuk melewati babak penyisihan ini, tapi saat di kompetisi ini semua akan bertambah sulit. Beberapa band yang tampil hari ini sangat bagus, ada juga yang kurang bagus, dan adapula yang tidak dapat dikomentari lagi.
Band dari grup Cheer, P’Cheer, di vokali oleh P’Earn yang mengejutkan semua orang di ruangan klub karena dia menyayikan sebuah lagi cinta untuk ketua klub kami. P’Ohm memberinya semangat karena dia sudah berani untuk melakukan hal itu dan P’Noh berusaha untuk mebungkan mulutnya. Lalu mulut besarnya wakil klub ini mengatakan kepada P’Earn, sayang sekali Noh adalah pria normal. Tiba-tiba keadaan terasa tegang saat Earn berjalan turun dari panggung dan Phun berjalan kearah panggung. Earn menaikkan alisnya kepada Phun saat dia lewat di depannya, dan dengan sengaja Earn menabrakkan bahunya ke Phun.
Aku penasaran apakah rumor tentang P’Noh dan P’Phun itu benar. Dan juga berita kalau P’Earn menyukai ketua kami itu benar, tidak bisa elakkan lagi setelah apa yang P’Earn lakukan tadi. Aku tidak yakin dengan berita tentang sekertaris osis karena dia datang kesini membawa pacarnya. P’Noh terlihat tidak nyaman dalam situasi saat ini.
Pintu ruangan terbuka pelan saat band dari Osis, Mafia, memainkan musiknya. Win mengintip kedalam sambil mencari keberadaanku dan aku melambaikan tanganku padanya, memberinya kode untuk berjalan ke arahku dan duduk dibawahku. Dia langsung masuk sambil menerobos kerumunan yang ada di dalam ruangan band, dan dia duduk di kursi yang sudah aku sediakan untukknya dan dia memberiku senyuman manis yang biasa ia tunjukan padaku. Akhirnya Win sampai disini, aku merasa lebih tenang dan merasa nyaman saat ada Win didekatku.
Sambil memerhatikan anggota band Mafia, mataku tertuju pada seorang pemain gitar tampan berambut panjang. Dia terlihat begitu serius memandang ke bawah untuk berkonsentrasi dalam memainkan gitarnya, lalu dia mengangkat kelapanya untuk mencari seseorang yang sedang melihatnya. Aku bisa melihat da tersenyum. Saat itu aku bisa melihat P’Noh melihat ke arah belakang saat P’Phun memberikan senyuman kepada wanita yang duduk di belakang P’Noh. Pacaranya P’Phun, Aim, dia tersenyum saat melihat pacarnya memainkan gitar di atas panggung kecil ruang band kami. Tapi aku bingung, dia terlihat canggung saat tersenyum, sepertinya dia berusaha untuk tersenyum. Setelah itu P’Noh berbalik memandang ke arah depan dan menundukkan kepalanya. P’Phun tetap mempertahankan senyuman lembutnya tapi kali ini bukan untuk wanita yang ada di belakang P’Noh.          
Setelah beberapa band tampil, termasuk bandku, aku berada di ruangan band hingga larut. Aku membantu yang lain untuk merapikan semua alat musik dan mengucapkan selamat tinggal pada mereka yang harus pulang lebih dulu. Win sekarang duduk di atas sofa dan aku bisa melihat matanya itu seperti lampu 5wat. Dia sepertinya sangat mengantuk dan sesekali saat kepalanya terlepas dari pangkuan tangannya dia kembali memperbaiki posisinya sambil menggelengkan kepalanya berusaha untuk tetap sadar. Itu terlihat sangat lucu, dia terlihat seperti seekor anak anjing kecil yang sedang berusaha untuk tidak tertidur.
Aku berjalan kearah dimana Win sedang duduk dan menungguku dengan sabar. Bandku hari ini berhasil masuk menjadi salah satu finalis acara live konser ini. Kami melakukan yang terbaik saat kami tampil tadi. Sambil tersenyum, aku duduk bersandar ke sofa sambil mengistirahatkan tangan dan kakiku.
“Apa kau mau pulang bersamaku?” Aku bertanya padanya, dan aku tau aku tidak akan bisa tenang kalau aku tidak melihat Win masuk ke rumahnya dengan selamat. Win menggangguk kepadaku sebagai tanda menyetujui ajakkanku, dan ia tersenyum lembut padaku. “Aku akan mengantarmu pulang.” in.
P’Noh sedang melihat-lihat kertas yang ada di depannya, lalu aku memanggilnya dari belakang. “P’Noh… Apa kau keberatan jika aku pulang lebih dulu?”
“Lagi?” P’Noh menjawabku dengan suara jengkel. “Aku saja belum memberi hukuman padamu karena kau tidak membantuku kemarin.”
“Maaf,P, Ini ini sungguh penting.” Aku berbicara dengan nada serius ke P’Noh untuk mencuri perhatiannya. “Ini antara hidup dan Mati.”
“Hidup dan Mati?” P’Noh bertanya padaku seolah-olah kami sedang dalam keadaan mendesak.
“Apapun bisa terjadi. Jadi perbolehkanlah aku untuk mengantar Win pulang.” Setelah aku bicara kami berdua memandang kebawah melihat Win yang mana dia sedang memandang kearah P’Noh dengan wajah malu-malunya. “Aku tidak bisa membiarkannya pulang sendirian hari ini.”
“Baiklah-baiklah.” P’ menyetujui permintaanku saat dia melihat lebam di lengannya Win, tapi dia tidak berkomentar tentang itu. “Aku melakukan ini untuknya?” Dia mengangguk ke arah Win.
“Terima kasih,P.” Ketua klub kami ini begitu baik, lalu aku melihat kearah Win. “Ayo.”
Sambil berdiri, Win melambaikan tangannya ke arah P’Noh. P’Noh tidak mengatakan apapun setelah kami pergi, tapi aku bisa mendengar kalau ada suara helaan nafas darinya. Bukan hanya Win yang senang saat aku bisa mengantar Win pulang kerumahnya.
“Jaga dia.” P’Noh mengingatkanku saat aku berjalan keluar melewati pintu.
“Ya.” Tentu saja aku akan melakukannya. Aku akan terus menjaga Win, sampai kapanpun aku akan menujaganya.

Terima kasih sudah menunggu, untuk part 2 akan saya upload secepatnya ^^

No comments:

Post a Comment