Tidak membutuhkan waktu lama untuk
bisa sampai di taman, saat sampai disana aku bisa melihat Win sedang duduk di
ayunan. Dia hanya berayun pelan disana
sambil melihat ke arah kakinya. Dia membungkukkan bahunya karena semua
kesulitan yang ia rasakan di dalam hidupnya. Aku benci melihatnya seperti ini,
bahkan mungkin ia juga lelah untuk bernafas. Aku berjalan pelan kearahnya, aku
dengan tiba-tiba memegang pundaknya dan memanggilnya dengan cara yang biasa aku
lakukan. “Boo!”
Win terkejet, dan langsung melihat
kearahku. Mulutnya terbuka dan siap untuk berteriak padaku. Aku lebih memilih untuk memanggilnya seperti ini. “Apa? Masih tidak biasa dengan caraku memanggilmu?”
“Kapan kau akan berhenti
melakukannya padaku?” Win bertanya padaku saat aku duduk di ayunan sebelahnya.
“Tidak akan pernah.” Dia menjawabku
dengan begitu jujur dan aku mendorong bahunya perlahan. “Jadi.. Apa yang
barusan terjadi?”
“Tidak ada apa-apa.” Dia manaruh
tangannya di atas pangkuannya, dan Win hanya menilhat ke arah kakinya.
“Bukankah kau bilang kau mau
biacara?” Sambil bersandar pada kakiku, aku melihat ke arah Win.
“Baiklah… sulit bagiku untuk
mengungkitnya lagi.” Suaranya yang malu-malu amat sulit untuk terdengar.
Tidak banyak hal yang bisa Win
sembunyikan dariku. Dengan hati-hati aku bertanya padanya. “Jika aku boleh
menebak, itu pasti berhubungan dengan apa yang ayahmu bakar didalam kotak di
halaman rumahmu tadi?”
Win hanya diam, dia tidak mau melihat
ke arahku bahkan mengucapkan satu patah katapun tidak.
“Diam.” Sambil melihat ke bawah,
aku mencoba untuk lebih meyakinkannya sebelum aku kembali menatapnya. “Jadi aku
benar! Aku akan tetap menebak kalau begitu. Yang ada didalam kotak itu adalah
sesuatu yang tidak seharusnya dimiliki olehmu, sesuatu yang buruk, yang mana
benda itu sudah membuat ayahnya marah…. Rokok?”
“Bukan,” Win menggelengkan
kepalanya.
“Lebih buruk dari itu.” Aku
berhenti sejenak, Aku mencoba menebak kemungkinan yang lain, tapi ini seharusnya
tidak seperti yang aku bayangkan. Aku tersenyum padanya dan berkata. “Ganja?”
“Bagaimana bisa kau mengatakan hal
seperti itu?” Akhirnya aku bisa melihat mulut Win mulai bergerak.
“Kau berjudi dan dia menangkapmu
jadi dia membakar semua uang itu karena itu adalah uang kotor?”
“Itu juga bukan,” Win tertawa kecil
dan itu membuat jantungku mulai berdetak.
“Lalu apa? Beritahu aku?” Sambil
memegang lengannya, aku memohon seperti seorang anak kecil. “Ayolah, beritahu
aku.”
“Ow!” Sambil kesakitan Win memegang
lengannya.
“Kau terluka?” Dengan hati-hati ku
naikkan lengan seragamnya dan aku bisa melihat luka memar dibaliknya. Dan aku
baru saja menyakitinya. “Maaf.”
Kemarahan terasa memuncak saat aku
melepaskan tanganku dari lengan seragamnya. “Ayah mu sampai sejauh ini? Kau
harus memanggil polisi jika dia terus memperkalukanmu seperti ini.”
“Dia adalah polisi bagi dirinya.”
Win bicara dengan suara pelan.
“Bukankah dia sudah kelewatan? Apa
yang akan kau lakukan, dia sudah sampai melakukan hal sekeji ini.” Aku
benar-benar tidak peduli dengan apa yang telah dilakukan Win. Tidak ada alasan
apapun yang bisa membuat ayahnya berhak untuk melakukan ini pada Win.
“Sss….” Win mencoba untuk membuatku
diam. “Majalah Porno.”
“Apa kau bercanda?” Dari semua
kemungkinan, itu tidak seperti yang ada di pikiranku. Aku tidak tau kalau Win
tertarik dengan hal seperti itu, tapi ini tidak aneh. Lagi pula dia adalah
laki-laki. Apa yang ayahnya pikirkan? “Maaf, tapi hanya karena sebuah majalah
porno? Dia sampai berteriak seperti itu. Dia sudah kelewatan sekali, dan dia
bertingkah seperti dia tidak pernah melihatnya saja? Anaknya sudah dewasa.
Porno tidak seburuk itu.”
“Ya.” Setelah dia mendengar
ocehanku, Win mengangguk padaku tanpa berkata apapun dan dia masih menyimpan
pandangan khawatir dimatanya.
“Hei. Jangan khawatir dengan itu.”
Aku berdiri, berjalan menuju ke belakang Win dan dia langsung menggenggam kedua
rantai ayunan. “Aku juga pernah ketahuan membaca majalah porno.”
Lalu aku mendorong Win. “Aku menyembunyikannya di langit-langit toilet.”
“Bagaimana kau bisa ketahuan?” Win
bertanya padaku.
“Coba tebak apa yang terjadi.”
Sambil tertawa kecil aku melihat kearah Win. Dia hanya menatap dengan tatapan
kosong. “Seekor tikus menggigitnya, bagian dari majalah itu terjatuh dan saat
itu ibuku yang menemukannya.” Sambil tertawa Win melihat kearahku, sekejap ia
melupakan masalahnya.
“Jadi aku mengubah taktikku.” Aku
berhenti sejenak. “Sejak aku tidak bisa menggunakan toiletku lagi, aku
menyembunyikannya di toilet sekolah.”
“Itu malah lebih buruk dari pada
sebelumnya.” Win tertawa dan dia mendorong perutku.
“Lihat? Semua orang melakukannya.
Kenapa kau harus memikirkannya?” Aku meletakkan tanganku di bahunya. “Lupakan
saja.”
“Baiklah.” Win akhirnya setuju
Kami berdiam di taman cukup lama,
kami bersenang-senang bersama. Aku mendorong Win saat dia di ayunan dan kami
berbicara tentang beberapa hal yang tidak penting. Setelah berbicara beberapa
lama, malam pun datang menghampiri, bintang-bintangpun mulai bersinar, dan
bulan bersinar terang menerangi jalan kami saat kami berjalan pulang.
“Aku akan menemui besok pagi.” Aku
berteriak pada Win saat kami sudah sampai di depan rumah. “Kita akan pergi
makan di tempat yang tidak jauh dari sekolah.”
“Oke.” Win dengan mudah menerima
ajakanku, dan akhirnya dia bisa tersenyum.
“Jangan lupa ya.” Setelah aku
bicara aku berjalan masuk kerumahku, begitu juga Win. “Malam, Mawin.”
“Malam, Pepper.”
Terima kasih sudah membaca di blog saya.
Jangan Lupa beri komentar ya.
No comments:
Post a Comment