Tuesday 3 November 2015

6 : Pandora Box (Part 2)

Tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa sampai di taman, saat sampai disana aku bisa melihat Win sedang duduk di ayunan. Dia hanya berayun pelan disana  sambil melihat ke arah kakinya. Dia membungkukkan bahunya karena semua kesulitan yang ia rasakan di dalam hidupnya. Aku benci melihatnya seperti ini, bahkan mungkin ia juga lelah untuk bernafas. Aku berjalan pelan kearahnya, aku dengan tiba-tiba memegang pundaknya dan memanggilnya dengan cara yang biasa aku lakukan. “Boo!”
Win terkejet, dan langsung melihat kearahku. Mulutnya terbuka dan siap untuk berteriak padaku. Aku lebih memilih untuk memanggilnya seperti ini. “Apa? Masih tidak biasa dengan caraku memanggilmu?”
“Kapan kau akan berhenti melakukannya padaku?” Win bertanya padaku saat aku duduk di ayunan sebelahnya.
“Tidak akan pernah.” Dia menjawabku dengan begitu jujur dan aku mendorong bahunya perlahan. “Jadi.. Apa yang barusan terjadi?”

“Tidak ada apa-apa.” Dia manaruh tangannya di atas pangkuannya, dan Win hanya menilhat ke arah kakinya.
“Bukankah kau bilang kau mau biacara?” Sambil bersandar pada kakiku, aku melihat ke arah Win.
“Baiklah… sulit bagiku untuk mengungkitnya lagi.” Suaranya yang malu-malu amat sulit untuk terdengar.
Tidak banyak hal yang bisa Win sembunyikan dariku. Dengan hati-hati aku bertanya padanya. “Jika aku boleh menebak, itu pasti berhubungan dengan apa yang ayahmu bakar didalam kotak di halaman rumahmu tadi?”
Win hanya diam, dia tidak mau melihat ke arahku bahkan mengucapkan satu patah katapun tidak.
“Diam.” Sambil melihat ke bawah, aku mencoba untuk lebih meyakinkannya sebelum aku kembali menatapnya. “Jadi aku benar! Aku akan tetap menebak kalau begitu. Yang ada didalam kotak itu adalah sesuatu yang tidak seharusnya dimiliki olehmu, sesuatu yang buruk, yang mana benda itu sudah membuat ayahnya marah…. Rokok?”
“Bukan,” Win menggelengkan kepalanya.
“Lebih buruk dari itu.” Aku berhenti sejenak, Aku mencoba menebak kemungkinan yang lain, tapi ini seharusnya tidak seperti yang aku bayangkan. Aku tersenyum padanya dan berkata. “Ganja?”
“Bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu?” Akhirnya aku bisa melihat mulut Win mulai bergerak.
“Kau berjudi dan dia menangkapmu jadi dia membakar semua uang itu karena itu adalah uang kotor?”
“Itu juga bukan,” Win tertawa kecil dan itu membuat jantungku mulai berdetak.
“Lalu apa? Beritahu aku?” Sambil memegang lengannya, aku memohon seperti seorang anak kecil. “Ayolah, beritahu aku.”
“Ow!” Sambil kesakitan Win memegang lengannya.
“Kau terluka?” Dengan hati-hati ku naikkan lengan seragamnya dan aku bisa melihat luka memar dibaliknya. Dan aku baru saja menyakitinya. “Maaf.”
Kemarahan terasa memuncak saat aku melepaskan tanganku dari lengan seragamnya. “Ayah mu sampai sejauh ini? Kau harus memanggil polisi jika dia terus memperkalukanmu seperti ini.”
“Dia adalah polisi bagi dirinya.” Win bicara dengan suara pelan.
“Bukankah dia sudah kelewatan? Apa yang akan kau lakukan, dia sudah sampai melakukan hal sekeji ini.” Aku benar-benar tidak peduli dengan apa yang telah dilakukan Win. Tidak ada alasan apapun yang bisa membuat ayahnya berhak untuk melakukan ini pada Win.
“Sss….” Win mencoba untuk membuatku diam. “Majalah Porno.”
“Apa kau bercanda?” Dari semua kemungkinan, itu tidak seperti yang ada di pikiranku. Aku tidak tau kalau Win tertarik dengan hal seperti itu, tapi ini tidak aneh. Lagi pula dia adalah laki-laki. Apa yang ayahnya pikirkan? “Maaf, tapi hanya karena sebuah majalah porno? Dia sampai berteriak seperti itu. Dia sudah kelewatan sekali, dan dia bertingkah seperti dia tidak pernah melihatnya saja? Anaknya sudah dewasa. Porno tidak seburuk itu.”
“Ya.” Setelah dia mendengar ocehanku, Win mengangguk padaku tanpa berkata apapun dan dia masih menyimpan pandangan khawatir dimatanya.
“Hei. Jangan khawatir dengan itu.” Aku berdiri, berjalan menuju ke belakang Win dan dia langsung menggenggam kedua rantai ayunan. “Aku juga pernah ketahuan membaca majalah porno.” Lalu aku mendorong Win. “Aku menyembunyikannya di langit-langit toilet.”
“Bagaimana kau bisa ketahuan?” Win bertanya padaku.
“Coba tebak apa yang terjadi.” Sambil tertawa kecil aku melihat kearah Win. Dia hanya menatap dengan tatapan kosong. “Seekor tikus menggigitnya, bagian dari majalah itu terjatuh dan saat itu ibuku yang menemukannya.” Sambil tertawa Win melihat kearahku, sekejap ia melupakan masalahnya.
“Jadi aku mengubah taktikku.” Aku berhenti sejenak. “Sejak aku tidak bisa menggunakan toiletku lagi, aku menyembunyikannya di toilet sekolah.”
“Itu malah lebih buruk dari pada sebelumnya.” Win tertawa dan dia mendorong perutku.
“Lihat? Semua orang melakukannya. Kenapa kau harus memikirkannya?” Aku meletakkan tanganku di bahunya. “Lupakan saja.”
“Baiklah.” Win akhirnya setuju
Kami berdiam di taman cukup lama, kami bersenang-senang bersama. Aku mendorong Win saat dia di ayunan dan kami berbicara tentang beberapa hal yang tidak penting. Setelah berbicara beberapa lama, malam pun datang menghampiri, bintang-bintangpun mulai bersinar, dan bulan bersinar terang menerangi jalan kami saat kami berjalan pulang.
“Aku akan menemui besok pagi.” Aku berteriak pada Win saat kami sudah sampai di depan rumah. “Kita akan pergi makan di tempat yang tidak jauh dari sekolah.”
“Oke.” Win dengan mudah menerima ajakanku, dan akhirnya dia bisa tersenyum.
“Jangan lupa ya.” Setelah aku bicara aku berjalan masuk kerumahku, begitu juga Win. “Malam, Mawin.”

“Malam, Pepper.”



 Terima kasih sudah membaca di blog saya.
Jangan Lupa beri komentar ya.

No comments:

Post a Comment