Senin, di pagi hari aku berjalan
melewati depan rumah Win dan tersenyum padanya. Saat dia berbalik, dia melihat
senyumanku dan membalasnya dengan senyuman manisnya. Aku merasakan jantungku
berdetak kencang saat aku melihatnya. Aku merasa seperti sudah sebulan tidak
berbicara padanya, padahal 4 hari saja belum.
“Yo.” Ku anggkat tanganku saat aku
memanggilnya sambil berjalan ke arahya.
“Tentu saja!” Anak ini mengenalku
dengan baik. Dengan cepat aku ambil bungkusan yang ada di tangannya. “Terima
kasih.”
“Bagaimana dengan akhir pekanmu?”
Win bertanya padaku sambil berjalan menjauh dari rumahnya.
“Selalu membosankan seperti
biasanya.” Aku menjawab sambil mengunyah. “Aku menghabiskan hariku untuk
latihan band. Agar kami dapat tampil dengan baik saat audisi nanti. Kau akan
datangkan?”
“Aku akan langsung kesana saat aku
sudah menyelesaikan tugasku.” Kata Win.
“Bagus!” Sambil menghabiskan
gigitan terakhir, ku bersihkan tanganku dan ku lempar bungkusnya ke dalam tong
sampah. Lalu aku mengenggol Win dengan tanganku “Bagaimana dengan akhir pekanmu? Sepetinya kau
selamat dari perjalan ke rumah nenekmu.”
“Tentu…” dengan ragu-ragu, Win
menggenggam tangannya sendiri. “…biasa saja.”
“Biasa? Apa maksudmu?” Jawabannya
membuatku bingung karena aku tahu kalau ayah dan ibunya adalah orang yang
selalu berpendapat dan mereka suka berjelajah. Bagamana bisa itu menjadi akhir
pekan yang biasa saja.
“Aku dan nenek hanya berbicara saat
aku sampai disana, dan tidak ada satupun yang mengganggu kami saat berbicara disana.
Suaranya terdengar aneh dan gerak-geriknya semakin mencurigakan.
“Apa yang dia bicarakan denganmu,
Win?” Ku ambil tangannya, Aku menariknya hingga dia berhenti dan aku melangkah
ke arah Win. Dia berusaha untuk tidak menatapku dan hanya melihat kebawah.
“Win?”
“Tidak ada apa-apa, Per. Kita
sebaiknya terus berjalan atau kita akan terlambat sampai di sekolah.”Dia berusaha
lari dari genggamanku tapi aku tidak membiarkannya untuk pergi.
“Ini pasti bukan hanya sekedar
tidak ada apa-apa dan sekolah bisa menunggu.” Dengan ujung jariku kuangkat
kepalanya keatas dengan lembut agar dia bisa melihatku. “Katakan padaku, Win.”
“Tidak ada apa-apa, sungguh.”
Matanya menatap mataku, memohon padaku untuk melepaskannya. Dia terlihat begitu
sedih dan itu membuat aku langsung melepaskan genggaman tanganku darinya.
“Aku akan selalu disisimu, Winnie.”
Mungkin itu hanya sebuah kalimat, tapi dia tahu apa maksud dari perkataanku.
Aku tidak perlu mengatakan banyak hal padanya, karena aku tidak akan jauh
darinya.
“Aku tau.” Dia memegang bahuku dan
tersenyum padaku.
“Kami melanjutkan perjalanan kami,
dan tidak terlambat saat kami sampai disekolah. Tidak ada yang spesial dari cerita kami di
akhir pekan. Sampai Win mengatakan sesuatu yang aneh bagiku. Ku tatap dia
perlahan, memastikan kalau tidak ada luka baru dari tubuhnya.
Kelas kami berakhir cepat hari ini
dan Win seperti biasa ialah si pintar yang selalu membantuku. Saat ini seperti
tidak ada yang salah diantara kami, tapi aku merasakannya. Aku dapat melihat
tatapan dingin dari matanya, Win kira tidak ada yang menyadari keadaannya. Saat
makan siang, dia hanya berdiam saja dan aku membiarkanya, aku tau dia akan
memberitahuku saat dia sudah siap. Kelas siang kami juga lewat begitu saja dan
suara bel akhir kelas kamipun terdengar. Win dan aku berpisah disini dan kami
saling betukar janji untuk bertemu dirumah nanti, ini terjadi sejak kegiatan
klubku menjadi lebih padat dari pada kegiatan kelasnya Win. Dia akan pulang
sendirian kerumah, tanpa diriku.
“Dimana dia? Aku yakin aku sudah
mengunduhnya.” Sambil menggumam sendiri saat aku sedang mencari lagu yang sudah
aku unduh setelah kegiatan klub hari ini. Aku mencoba mencarinya agar Win bisa
mendengarkannya juga. Setelah melewati tikungan yang ada di tengah jalan, aku
mendengar sebuah suara teriakan yang kukenal, terdengar jelas dari tempatku
berdiri. Aku saat itu takut melihat ke arah depan, aku takut untuk mengetahui
dari mana suara itu berasal. Aku tidak mau, tapi semua tubuhku berkata lain.
Aku harus pergi melihatnya untuk mengecek apakah Win baik-baik saja.
“Sini kau!” Ayah Win menarik kerah
seragam Win ke depan rumahnya, sampai kancing yang ada di kerahnya terlepas.
Sambil menunjuk kotak yang ada di dekat kakinya, dia meneriaki Win. “Dari mana
kau dapat semua ini?! Siapa yang mengajarimu?!”
Sambil memegang sebuah majalah, dia
merobek halamannya. Dia mengambil sebuah korek, membakarnya dan melemparkannya
ke dalam kotak. “Lihat!”
Aku berjalan mendekati pagar rumah
Win, dan aku tidak bisa berkata-kata. Aku penasaran dengan apa yang ada di
dalam kotak itu. Karena begitu marahnya Ayah Win, dia sampai tidak menyadari
keberadaanku.
“Kau benar-benar tidak tau terima
kasih!” Dia mulai menarik Win lagi, dan Dia memukul Win dengan keras tepat
diwajahnya. Win langsung jatuh terhempas ketanah dan dia berusaha melindungi
dirinya dengan tangan kanannya. Air matanya mengalir deras di wajahnya, aku
bisa melihat kepahitan, ketakutan dan rasa malu Win.
Itu membuatku tidak berani untuk
meloncat melewati pagar rumahnya, berdiri di antara dia dan Ayahnya. Aku tau
itu bukan hal yang diinginkan Win, dan aku benar-benar tidak tau harus apa
waktu itu. Itu adalah Ayahnya Win yang seharusnya menjadi seorang ayah yang
melindunginya. Bagaimana bisa aku melawannya? Apakah aku bisa membantahnya
tanpa harus menyakiti Win lagi?
“Ayah!” Win merunkan tangannya dan
mencoba menatap ayahnya. Orang itu kembali mengangkat tangannya, dia terlihat
akan kembali memukul Win. Dalam ketakutan Win menekuk kedua lututnya di depan
dadanya dan melipat kedua tangannya di atas kepalanya. “Aku minta maaf! Aku
tidak bermaksud untuk melakukan semua ini!”
Ayah atau bukan, jika dia memukul
Win lagi didepanku, Aku tidak akan bisa menahan diriku lagi. Aku bisa merasakan
darahku mengalir ke telingaku dan tanganku memutih saat aku menggengam keras
tas dan handphoneku. Ku mohon jangan pukul dia lagi, Aku memohon padamu.
Win perlahan-lahan menurunkan
tangannya untuk mengusap air mata yang keluar dari matanya. Ia menatap ke arah
lain, ia berusaha untuk tidak melihat ayahnya, dan matanya menatapku. Karena
panik dan kecewa, dia langsung berdiri dan berlari masuk kedalam rumahnya,
meninggalkan ayahnya dan sesuatu yang
terbakar dalam kotak yang ada di depan ayahnya.
“Win! Mau kemana kau? Kembali
kesini!” Ayahnya meneriaki Win, sambil menyusulnya dan menutup pintu rumahnya.
Karena bingung, aku berdiri disini
sepeti patung, aku terpaku menatap ke kotak yang ada disana. Asap hitam
terlihat keluar dari kotak tersebut. Aku bingung kenapa hal seperti itu bisa
membuat ayahnya begitu marah? OH Win!
Semua ketertarikanku pada kotak itu
hilang saat aku meninggalkannya dan berjalan masuk kedalam rumahku. Aku dengan
segera berlari naik masuk kekamarku, aku langsung naik tanpa memberi salam
kepada orang tuaku. Yang bisa ku pikirkan sekarang hanyalah Win, aku harus
pergi ke kamarku dan pergi kedepan jendela untuk melihatnya.
Saat sampai di kamarku, kulemparkan
semua barangku ke atas kasur dan aku langsung berjalan ke arah jendela kamarku.Aku
geser jendalu, saat aku membukanya tidak ada siapa-siapa disana. Ku ambil batu
dari toplesku dan kulemparkan ke arah jendela kamar Win. Aku melemparnya
beberapa kali, lagi.. dan lagi… dan lagi. Hingga akhirnya Win muncul dan
membuka jendela kamarnya, sambil mengusap-usap matanya dengan pipinya yang
memerah. Bibir lembutnya memperlihatkan ekspresi sedih. Dia disini dan akhirnya
aku bisa bernafas lega.
Ku ambil papan putihku dan aku
menuliskan pertanyaan yang harus aku tanyakan padanya.
”Apa kau mau bicara?”
"Aku akan menunggumu di tempat biasa."
Sambil mengangguk ku letakkan papan
dan spidolku. Win membalas anggukanku dan kami langsung menutup jendela. Aku
bisa melihat Win berlari dari ruangannya dan menutup pintu kamarnya, aku
terdiam sejenak dan berharap dia bisa keluar dari rumahnya tanpa harus
menimbulkan masalah lain. Aku berbalik, dan aku meninggalkan kamarku. Rumahku
begitu sepi tapi aku tidak peduli, saat itu aku langsung menuruni tangga dan
pergi dari rumah tanpa mengucapkan salam.
To be Continue . . . . . .
Lanjutannya akan di upload segera. Terima kasih sudah membaca disini.
Salam Evansawadee
Jangan lupa memberi komentar.
Salam Evansawadee
Jangan lupa memberi komentar.
No comments:
Post a Comment