Monday 2 November 2015

6 : Pandora Box (Part 1)

Senin, di pagi hari aku berjalan melewati depan rumah Win dan tersenyum padanya. Saat dia berbalik, dia melihat senyumanku dan membalasnya dengan senyuman manisnya. Aku merasakan jantungku berdetak kencang saat aku melihatnya. Aku merasa seperti sudah sebulan tidak berbicara padanya, padahal 4 hari saja belum.
“Yo.” Ku anggkat tanganku saat aku memanggilnya sambil berjalan ke arahya.
“Hei, Per. Apa kau sudah sarapan?” Dia bertanya padaku saat dia sedang memegang sebuah bungkus kecil berwarna putih. “Tadi aku tidak menghabiskan semuanya, dan aku pikir munggkin kau mau.”
“Tentu saja!” Anak ini mengenalku dengan baik. Dengan cepat aku ambil bungkusan yang ada di tangannya. “Terima kasih.”
“Bagaimana dengan akhir pekanmu?” Win bertanya padaku sambil berjalan menjauh dari rumahnya.
“Selalu membosankan seperti biasanya.” Aku menjawab sambil mengunyah. “Aku menghabiskan hariku untuk latihan band. Agar kami dapat tampil dengan baik saat audisi nanti. Kau akan datangkan?”
“Aku akan langsung kesana saat aku sudah menyelesaikan tugasku.” Kata Win.
“Bagus!” Sambil menghabiskan gigitan terakhir, ku bersihkan tanganku dan ku lempar bungkusnya ke dalam tong sampah. Lalu aku mengenggol Win dengan tanganku “Bagaimana dengan akhir pekanmu? Sepetinya kau selamat dari perjalan ke rumah nenekmu.”
“Tentu…” dengan ragu-ragu, Win menggenggam tangannya sendiri. “…biasa saja.”
“Biasa? Apa maksudmu?” Jawabannya membuatku bingung karena aku tahu kalau ayah dan ibunya adalah orang yang selalu berpendapat dan mereka suka berjelajah. Bagamana bisa itu menjadi akhir pekan yang biasa saja.
“Aku dan nenek hanya berbicara saat aku sampai disana, dan tidak ada satupun yang mengganggu kami saat berbicara disana. Suaranya terdengar aneh dan gerak-geriknya semakin mencurigakan.
“Apa yang dia bicarakan denganmu, Win?” Ku ambil tangannya, Aku menariknya hingga dia berhenti dan aku melangkah ke arah Win. Dia berusaha untuk tidak menatapku dan hanya melihat kebawah. “Win?”
“Tidak ada apa-apa, Per. Kita sebaiknya terus berjalan atau kita akan terlambat sampai di sekolah.”Dia berusaha lari dari genggamanku tapi aku tidak membiarkannya untuk pergi.
“Ini pasti bukan hanya sekedar tidak ada apa-apa dan sekolah bisa menunggu.” Dengan ujung jariku kuangkat kepalanya keatas dengan lembut agar dia bisa melihatku. “Katakan padaku, Win.”
“Tidak ada apa-apa, sungguh.” Matanya menatap mataku, memohon padaku untuk melepaskannya. Dia terlihat begitu sedih dan itu membuat aku langsung melepaskan genggaman tanganku darinya.
“Aku akan selalu disisimu, Winnie.” Mungkin itu hanya sebuah kalimat, tapi dia tahu apa maksud dari perkataanku. Aku tidak perlu mengatakan banyak hal padanya, karena aku tidak akan jauh darinya.
“Aku tau.” Dia memegang bahuku dan tersenyum padaku.
“Kami melanjutkan perjalanan kami, dan tidak terlambat saat kami sampai disekolah.  Tidak ada yang spesial dari cerita kami di akhir pekan. Sampai Win mengatakan sesuatu yang aneh bagiku. Ku tatap dia perlahan, memastikan kalau tidak ada luka baru dari tubuhnya.
Kelas kami berakhir cepat hari ini dan Win seperti biasa ialah si pintar yang selalu membantuku. Saat ini seperti tidak ada yang salah diantara kami, tapi aku merasakannya. Aku dapat melihat tatapan dingin dari matanya, Win kira tidak ada yang menyadari keadaannya. Saat makan siang, dia hanya berdiam saja dan aku membiarkanya, aku tau dia akan memberitahuku saat dia sudah siap. Kelas siang kami juga lewat begitu saja dan suara bel akhir kelas kamipun terdengar. Win dan aku berpisah disini dan kami saling betukar janji untuk bertemu dirumah nanti, ini terjadi sejak kegiatan klubku menjadi lebih padat dari pada kegiatan kelasnya Win. Dia akan pulang sendirian kerumah, tanpa diriku.
“Dimana dia? Aku yakin aku sudah mengunduhnya.” Sambil menggumam sendiri saat aku sedang mencari lagu yang sudah aku unduh setelah kegiatan klub hari ini. Aku mencoba mencarinya agar Win bisa mendengarkannya juga. Setelah melewati tikungan yang ada di tengah jalan, aku mendengar sebuah suara teriakan yang kukenal, terdengar jelas dari tempatku berdiri. Aku saat itu takut melihat ke arah depan, aku takut untuk mengetahui dari mana suara itu berasal. Aku tidak mau, tapi semua tubuhku berkata lain. Aku harus pergi melihatnya untuk mengecek apakah Win baik-baik saja.
“Sini kau!” Ayah Win menarik kerah seragam Win ke depan rumahnya, sampai kancing yang ada di kerahnya terlepas. Sambil menunjuk kotak yang ada di dekat kakinya, dia meneriaki Win. “Dari mana kau dapat semua ini?! Siapa yang mengajarimu?!”
Sambil memegang sebuah majalah, dia merobek halamannya. Dia mengambil sebuah korek, membakarnya dan melemparkannya ke dalam kotak. “Lihat!”
Aku berjalan mendekati pagar rumah Win, dan aku tidak bisa berkata-kata. Aku penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak itu. Karena begitu marahnya Ayah Win, dia sampai tidak menyadari keberadaanku.
“Kau benar-benar tidak tau terima kasih!” Dia mulai menarik Win lagi, dan Dia memukul Win dengan keras tepat diwajahnya. Win langsung jatuh terhempas ketanah dan dia berusaha melindungi dirinya dengan tangan kanannya. Air matanya mengalir deras di wajahnya, aku bisa melihat kepahitan, ketakutan dan rasa malu Win.
Itu membuatku tidak berani untuk meloncat melewati pagar rumahnya, berdiri di antara dia dan Ayahnya. Aku tau itu bukan hal yang diinginkan Win, dan aku benar-benar tidak tau harus apa waktu itu. Itu adalah Ayahnya Win yang seharusnya menjadi seorang ayah yang melindunginya. Bagaimana bisa aku melawannya? Apakah aku bisa membantahnya tanpa harus menyakiti Win lagi?
“Ayah!” Win merunkan tangannya dan mencoba menatap ayahnya. Orang itu kembali mengangkat tangannya, dia terlihat akan kembali memukul Win. Dalam ketakutan Win menekuk kedua lututnya di depan dadanya dan melipat kedua tangannya di atas kepalanya. “Aku minta maaf! Aku tidak bermaksud untuk melakukan semua ini!”
Ayah atau bukan, jika dia memukul Win lagi didepanku, Aku tidak akan bisa menahan diriku lagi. Aku bisa merasakan darahku mengalir ke telingaku dan tanganku memutih saat aku menggengam keras tas dan handphoneku. Ku mohon jangan pukul dia lagi, Aku memohon padamu.
Win perlahan-lahan menurunkan tangannya untuk mengusap air mata yang keluar dari matanya. Ia menatap ke arah lain, ia berusaha untuk tidak melihat ayahnya, dan matanya menatapku. Karena panik dan kecewa, dia langsung berdiri dan berlari masuk kedalam rumahnya, meninggalkan ayahnya dan sesuatu yang  terbakar dalam kotak yang ada di depan ayahnya.
“Win! Mau kemana kau? Kembali kesini!” Ayahnya meneriaki Win, sambil menyusulnya dan menutup pintu rumahnya.
Karena bingung, aku berdiri disini sepeti patung, aku terpaku menatap ke kotak yang ada disana. Asap hitam terlihat keluar dari kotak tersebut. Aku bingung kenapa hal seperti itu bisa membuat ayahnya begitu marah? OH Win!
Semua ketertarikanku pada kotak itu hilang saat aku meninggalkannya dan berjalan masuk kedalam rumahku. Aku dengan segera berlari naik masuk kekamarku, aku langsung naik tanpa memberi salam kepada orang tuaku. Yang bisa ku pikirkan sekarang hanyalah Win, aku harus pergi ke kamarku dan pergi kedepan jendela untuk melihatnya.
Saat sampai di kamarku, kulemparkan semua barangku ke atas kasur dan aku langsung berjalan ke arah jendela kamarku.Aku geser jendalu, saat aku membukanya tidak ada siapa-siapa disana. Ku ambil batu dari toplesku dan kulemparkan ke arah jendela kamar Win. Aku melemparnya beberapa kali, lagi.. dan lagi… dan lagi. Hingga akhirnya Win muncul dan membuka jendela kamarnya, sambil mengusap-usap matanya dengan pipinya yang memerah. Bibir lembutnya memperlihatkan ekspresi sedih. Dia disini dan akhirnya aku bisa bernafas lega.
Ku ambil papan putihku dan aku menuliskan pertanyaan yang harus aku tanyakan padanya.



”Apa kau baik-baik saja?”



"Tidak."


”Apa kau mau bicara?”








"Aku akan menunggumu di tempat biasa."
Sambil mengangguk ku letakkan papan dan spidolku. Win membalas anggukanku dan kami langsung menutup jendela. Aku bisa melihat Win berlari dari ruangannya dan menutup pintu kamarnya, aku terdiam sejenak dan berharap dia bisa keluar dari rumahnya tanpa harus menimbulkan masalah lain. Aku berbalik, dan aku meninggalkan kamarku. Rumahku begitu sepi tapi aku tidak peduli, saat itu aku langsung menuruni tangga dan pergi dari rumah tanpa mengucapkan salam.

To be Continue . . . . . .


Lanjutannya akan di upload segera. Terima kasih sudah membaca disini.
Salam Evansawadee

Jangan lupa memberi komentar.

No comments:

Post a Comment