Monday 26 October 2015

2 : When You're Near



Aku merasakan ada sesuatu yang berat di dadaku bersamaan dengan cahaya masuk ke kamarku melalui celah gorden. Ku buka sebelah mataku dan ku lihat jam masih menunjukan waktu dimana ini masih terlalu awal untuk bangun. Tubuh yang berada disampingku bersuara lembut sambil bergerak mendekatiku, sambil mencari posisi yang nyaman, membuat mataku ingin mengintip. Wajah Win memperlihatkan kekhawatiran dan kepahitan yang tampak jelas walaupun dia sedang dalam tidur. Kuperhatikan alisnya, ku gerakkan tanganku kearahnya dan mebelainya dengan jari jemariku dengan lembut. Sekali lagi ku peluk dia dan ku dekap dia dengan hangat, hingga Win merasa nyaman dan akhirnya ia kembali tidur pulas.


    I’ve realized I am not lonely when you are near
    And despite me and all of my doubts, gone is my fear
    I am made warm by your care
    I was disarmed so slowly
    For you, my heart goes untied
    You chase away all of my pride
    I would give you everything I have
    Coz I want you here by my side
Ketika aku kembali terbangun karena suara alarmku, aku sendirian di kasurku. Ku usap mataku, dan aku bangun berusaha untuk mematikan alarm ku dan duduk untuk melihat keadaan sekitar tapi ternyata Win sudah tidak ada di kamar. Aku berjalan lurus ke arah jendela yang menghadap langsung ke arah rumah Win dan berhenti sejenak sebelum membukanya. Aku bisa mendengar suara keran dan aku bernafas legah, tubuhku kusandarkan kedinding. Win masih disini.
“Per, apa kau sudah bangun? Kau tidak kembali tidur setelah kau mematikan alarm, bukan?” Dia berteriak padaku setelah dia mematikan keran air. “Kau harus segera bangun, ini sudah waktunya untuk pergi ke sekolah.” Pintu kamar mandi terbuka dan kepalanya mengintip keluar sambil mencariku. Rambutnya yang masih acak-acakan dan lehernya terlihat yang lemas, memberitahuku kalau ia baru saja bangun.
“Aku sudah bangun.” Aku menggosok kepalaku, dan berusaha bangun. Wajah paginya yang benar-benar kacau membuat ia terlihat manis, tidak sepertiku.
“Oh.” Win menggosok rambutnya dengan handuk sambil mencariku dan memberiku senyuman sambil masuk ke kamarku, ia masih mengenakan pakaian ku yang tadi malam. “Kau sudah bangun. Aku mau pulang dulu dan bersiap-siap untuk pergi sekolah.”
Aku menatatap kearah jendela dan khekawatiran telihat jelas di wajahku karena Win berjalan kearahku dan memegang lenganku.
“Tenag saja, Per. Ayahku sudah pergi pagi-pagi sekali jadi tidak ada orang dirumah.”

“Apa dia akan marah karena kau menginap dirumahku?” Ku tatap matanya, apa yang bisa kulihat hanya bekas luka yang terlihat jelas di kulit lembutnya. Aku tidak mau itu terjadi lagi, aku tidak mau mendengarnya menangis dan air matanya mengalir lagi. Hanya dengan mengingat lukanya, Aku benar-benar bisa merasakan kesakitan yang Win rasakan.
“Tenang saja. Aku sudah mengirim pesan singkat kepada ibuku saat kau mandi tadi malam, jadi tidak akan ada masalah. Aku yakin ayahku sudah tenang sakarang.” Win melepaskan tangannya dan memandang ke bawah. Setelah itu dia mengubah topik pembicaraan. “Apa kau sibuk setelah pulang sekolah hari ini?”
“Aku harus pergi ke ruangan klub setelah sekolah hari ini karena aku harus membantu mereka untuk menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan untuk kontes nanti. Tidak ada latihan hari ini…. Aku tidak membutuhkannya. Karena aku sudah terlalu hebat.” Aku memberinya senyuman, mencoba untuk menyembunyikan perasaanku tapi aku harus lebih bisa meyakinnya. Win sangat mengenalku.
“Jangan mengkhawatirkanku.” Sambil menyenakan seragamnya yang kemarin, Win berjalan pergi tanpa memberiku kesempatan untuk berkata-kata. Dia berhenti sejenak dan memandangiku.”Sampai bertemu di luar setengah jam lagi?”
Setelah aku menganggukkan kepalaku, dia pergi melinggalkanku sambil melambai ke arahku dan menutup pintu. Aku bingung melihatnya yang sekarang begitu kuat, berbeda dari dia yang tadi malam terlihat begitu lemah. Untuk beberapa alasan, itu tidak bisa membuatku tenang. Malah itu hanya menambah kekhawatiranku.
Win dan ayahnya tidak biasa seperti ini. Ayahnya selalu terlihat kaku tapi ia juga biasa tersenyum. Aku tidak yakin dengan apa yang terjadi sejak Win tidak mau membicarakan hal tersebut, senyum dan tawanya semakin lama semakin hilang semakin kamu bertambah dewasa dan peraturan semakin bertambah rumit. Tidak tahu apa yang terjadi pada ayahnya dan dia sering sekali meneriaki Win. Tidak peduli seberapa baik yang Win lakukan, ayahnya selalu saja merasa Win seharusnya bisa lebih baik lagi. Dia mulai memukuli Win beberapa waktu yang lalu setiap kali Win melakukan sesuatu yang di anggapnya salah. Win berusaha untuk menyembunyikan itu padaku, tapi itu akan sangat sulit disembunyikan ketika kami tinggal bersebelahan seperti ini. Bahkan aku bisa melihat luka lebamnya dari jendela kamarku. Aku membuat janji jika ada hal buruk yang terjadi padanya dia bisa memanggilku. Sebelumnya belum pernah terjadi kejadian separah tadi malam.
Ku gelengkan kepalaku untuk menghilangkan pikiran burukku, Aku berjalan ke kamar mandi. 40 menit kemudian aku keluar dari rumahku dengan senyuman ceria dan tasku yang ku bawa. Win sedang sibuk dengan telpon genggamnya sambil menungguku. Aku mebuka pagar begitu pelan dan sambil berteriak “HA….” Kepada Win, membuat dia sekejap melompat terkejut.
“Hei, apa kau tidur sambil berdiri disini?” Aku bertanya pada Win sambil tertawa.
“Jika kau lebih lama lagi, mungkin saja..” Dia mengkerutkan dahinya padaku saat aku menutup pagar.
“Butuh waktu untuk membuatku terlihat rapi seperti ini.” Kurapikan kerahku, dan aku menyeringai padanya. Dia memalingkan matanya dan dia mengucapkan sepatah katapun. Aku tau aku telihat keren. Dia hanya tersenyum dan mendorong tanganku agar aku bisa menutup pagar dibelakangku.
“Ayo atau kita akan terlambat.”
Di ujung block kami, anjing tetangga menggonggong kami dan Win membalasnya. Kata-katanya terhenti di kerongkongannya dan ia terlihat kesakitan. Dia mencoba menggapai sesuatu di sampingnya, dan Win menarik nafas yang cukup panjang.
“Apa kau baik-baik saja, Winnie?” Aku tidak tahu apa yang dapat kulakukan untuk menolongnya, jadi aku hanya bisa menaruh tanganku ke bahunya untuk meyakinkannya aku ada di sampingnya.
“Aku akan baik-baik saja, beri aku waktu.”
“Berapa lamapun yang kau mau” aku melihat kearah tasnya, aku memindahkan tanganku dari bahunya dan aku mencoba untuk menggapai tasnya. “Biar aku yang membawanya.”
“Aku bisa…”
“Diam.” Menjauh dari gapaian tangannya, aku memegang kedua tas kami di punggungku. “Aku mengerti. Kau bisa mengambil kembali tasmu sebelum kita sampai di gerbang sekolah. Tidak ingin orang lain salah sangka terhadap kita. Mereka akan mengira kalau kita itu berpacaran kalau aku membawa tasmu hingga kita sampai ke kelas.” Aku berkedip padanya untuk mengembalikan moodnya.
Win memberiku tawa kecil tapi aku bisa melihat kekecewaannya yang bersembunyi dibalik matanya, sepertinya dia kecewa karena aku tidak memperbolehkan dia untuk membawa tasnya. Kami kembali berjalan tapi aku sengaja untuk berjalan lebih lambat dari biasanya.
“Kita tidak perlu jalan selambat ini karena aku. Ini akan membaut kita terlambat.” Win menarik seragamku agar aku berjalan lebih cepat.
“Siapa bilang aku berjalan pelan untukmu?” Aku menaikkan alis mataku saat aku bertanya padanya, kami berjalan lebih lambat. “Aku menikmati pagi yang cerah ini.” Aku memasukkan tanganku ke sakuku, aku mulai bersiul dengan nada yang tidak jelas, aku mencoba untuk tidak tertawa karena rasa frustrasi Win.
“Serius, Per?” Dia memberiku pandangan gelisah dan berjalan lebih cepat dariku. “Baiklah. Aku akan pergi ke sekolah duluan tanpamu.”
“Pergi saja, apa kau tidak butuh tasmu lagi?” Aku mencoba tertawa sambil mendekap tasnya ditanganku.
“Dasar! Kembalikan tasku.” Dia mengepalkan tangannya.
“Tenang, Mawin. Kita masih punya banyak waktu.” Aku melihat kearah jam tanganku, mataku menyipit. Waktu sudah semakin sedikit. “Dengan sedikit cepat, ini tidak akan sakit.”
Sambil tertawa kecil, Win menunggu ku dan kami lanjut berjalan, bersebelahan. Tidak lama kami berjalan, akhirnya kami sampai di depan pintu gerbang sekolah. Aku mengembalikan tasnya seperti janjiku dan kami berjalan masuk.
Sepanjang pagi dihabiskan di ruang kelas dimana Win adalah seorang murid yang hebat dan aku seorang murid yang hampir tertidur dikelas. Itulah rutinitas kami. Dia sangat memperhatikan dan dia membuat banyak sekali catatan, dan aku hanya akan melihat PRnya nanti. Kami biasa belajar bersama untuk test jadi aku tidak perlu memerhatikan guru saat di kelas dan Win adalah seorang pengajar yang sabar.
Saat makan siang, Win akan makan siang bersama Mick jadi aku akan pergi makan bersama-sama teman klubku. Setiap kami bersama pasti akan terdengar suara gaduh. Setelah kami duduk dengan membawa makanan kami, Knott bermaksud untuk memakan mienya dalam satu suap karena sangat sulit dia mencoba untuk menghabiskan mienya dalam satu tegukan.


P’Khom tertawa terbahak-bahak karena itu. Sayangnya, dia juga sedang dalam keadaan dimana mulutnya penuh dengan nasi dan dia menyemprotkan ke pada kami semua, dimana Knott juga terkena semprotannya dan kami memulai perang makanan kami.
“Kau tidak akan akan bisa melawanku!” P’Ohm berteriak sambil melemparkan sebuah bakso ke arah kepala P’Khom.
“Sial kau!” mengambil apapun yang tersisa di piringnya, P’Khom mengambilnya dan melemparkannya ke arah kepala P’Ohm, dan ia terkena tembakan mematikan sehingga dia terjatuh ke lantai dengan gaduh. Dan dia meraih kaki P’Film.
“Nah, yang satu ini sudah kalah.” P’Film mangatakannya dengan lemparan akhir.
“Aku tidak selemah itu kampret.” Sambil kembali duduk, P’Ohm meninjunya di lengan.
“Benarkah? Aku pikir kau sudah kalah.” Tertawa kami lepas setelah semua itu.
Dan ini menghentikan perbuatan bodoh kami. Semuanya kecuali aku harus pergi membersihkan pakaian mereka dan sekejar mereka berlari ke loker mereka. Aku sangat hebat dalam menghindar jadi aku hanya perlu membersihkan nasi yang menyangkut dirambutku dan bajuku. Aku menatap ke arah ruangan lain, aku melihat Win dan Mick menertawakan perbuatan kami. Ini sangat menyenangkan saat bisa melihat Win tertawa.
Kelas siangpun dimulai dengan suara guru yang  membosankan dimulai, suara deritan kapur yang ditulis di papan, dan suara-suara kertas terdengar. Saat kelas benar-benar berakhir, aku langsung berkemas-kemas bersiap untuk pergi. Aku langsung melambaikan tangan kepada Win sebelum aku pergi melewati pintu, karena aku tau guru kami akan menahan kami lebih lama di kelas.
Aku tidak berhenti sebelum aku sampai di ruangan klubku. Aku melihat keruangan sekitar, akulah orang pertama yang sampai disini. Kulempar tas ku kearah dinding dan aku merebahkan badanku ke arah sofa. TIdak egitu lama berbaring disana, aku mendengar mereka sudah sampai di ruangan klub. Kami bermain sejenak sampai akhirnya P’Ohm datang dengan setumpuk kertas bersamanya. Itu adalah poster untuk Konser langsung kami yang akan kami tempetlkan di setiap sekolah yang berbeda.
Benarkah, P’Noh adalah ketua klub kami, akhir-akhir ini dia tidak selalu bersama kami. Dia selalu pergi bersama pacar kecilnya yang manis dari sekolah wanita atau pergi bersama P’Phun. P’Ohm adalah wakil ketuanya, jadi dia kan menggantikannya ketika dia tidak ada.
Aku berjalan ke tempat yang sudah di tandai, yang mana tempat ini dekat dengan kelasku, dan aku menempelkan poster ke dinding sekitar tempat ini. Saat aku sedang memasang sebuah poster, tiba-tiba aku tergelincir dan semua kertasku berserakan di lantai. Sambil menghela nafas, aku mengambil semua poster yang tadinya terjatuh, sesaat setelah itu ada seseotrang yang  meletakkan beberapa poster ke tanganku.
“Oh, Win.”
“Butuh bantuan, Per?” Dia berbicara sambil merapikan kertas yang ada.
“Tidak perlu, aku bisa menyelesaikannya sendiri.” Sungguh, aku merasakan sakit di pantatku tapi aku tidak mengakuinya.
“Apa ini Kontes live kita?” Win memandang lebih dekat ke arah poster.
“Ya, apa kau akan ikut?” sambil menganggukkan kepalaku, dan penasaran akan ketertarikannya. Aku tidak tahu kalau dia begitu tertarik pada musik. Itu hanya pemikiranku saja.
“Aku tidak tau bagaimana cara memainkan musik.” Win mengingatkanku, dan aku tersenyum padanya. “Jadi akau akan menempalkan poster ini disemua sudut sekolah? Apa kau butuh bantuan?”
“Tidak perlu, aku bisa melakukannya.”
“Tapi jika aku membantumu, kau akan lebih cepat selesai.” Dia memaksa untuk tetap bersamaku dan aku merasa itu aneh. Yang benar saja, siapa yang mau melakukan hal seperti ini dimana dia bukan anggota dari klub kami?
“Apa ada sesuatu?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin kita pulang ke rumah bersama-sama.” Suaranya mencari cepat dan ia melanjutkan kata-katanya. “Kau terlihat begitu sibuk akhir-akhir ini.”
“Tentu saja. Aku punya banyak kencan dengan wanita.” Mencoba untuk mendapatkan senyum darinya, aku menggerakkan alis mataku kepadanya. Win hanya menatapku, sambil menggigit bibirnya. Itu membuat perhatianku tertuju padanya, ia sungguh terlihat manis saat Win melakukan hal tersebut. Tentu saja, itulah Win, tidak semua wanita menginginkan ini aku menurunka pandanganku dan perbaling. “Jadi, bagaimana denganmu? Kapan kau akan mencari seorang wanita?”
“Aku tidak yakin.” Win terlihat serius saat dia mengatakannya.
“Kau tidak akan pernah menemukan seorang wanita jika kau terus membuntutiku seperti anak anjing.” Aku tidak bisa melihat kearahnya ketika aku mengatakannya tapi aku bermaksud berkata “Lakukan saja apa yang kau sukai.”
“Kau benar-benar tidak butuh bantuanku?”
“Aku bisa melakukannya.”
“Apa kau benar-benar tidak membutuhkan bantuanku sama sekali?” Dia menatapku begitu dalam melalui bulu matanya yang gelap. Aku tidak bisa menolaknya.
“Ambil ini.” Karena ia benar-benar ingin membantuku, ku berikan semua tumpukan poster padanya ketika pikiran baru saja terlintas di benakku.”Kau bisa melakukannya. Aku akan duduk dan melihatmu. Silahkan.”
Win mengambil semua poster yang ada dan berusaha mengambil selembar poster dari tumpukan kertas yang ada. Dia berbalik kearahku dan dengan wajah yang frustasi.”Bantu aku.”
“Berikan padaku.” Sambil tertawa, ku tepuk kepalanya dengan lembut dan ku ambil poster dari tangannya. “Kau pagang tumpukan poster itu dan aku akan menempelkannya.”
Ini seperti tidak ada habisnya untuk kami. Win berlari ke arah kelas untuk mengambil tasnya  sebelum pergi bersama ke ruangan klub untuk mengambil barangku. Kami melambaikan tangan sebai tanda perpisan sebelum kami pergi dari ruangan klub. Saat kami sampai diluar pagar rumah Win, disana sungguh gelap dan mobilpun tidak ada.
“Sepertinya tidak ada orang dirumah. Apa kau mau pergi kerumahku dulu sambil menunggu mereka pulang?” Aku masih belum bertanya soal lukanya dan dia tidak mengatakan apapun tentang lukanya, tapi ingatan tadi malam terus menghantuiku. Itu membuatku menjadi sangat protektif kepada Win.
“Mungkin tidak. Ibuku akan segera pulang dan aku masih punya beberapa PR yang harus aku selesaikan.” Dia tidak mau memandangku saat berbicara dan dia hanya memandangi sepatunya.
“Apa kau yakin?” Aku memandangi ruangan gelap rumahnya dengan khawatir. “Apa kau mau temani?”
“Tidak perlu.” Dia melambaikan tangan padaku, Win berjalan masuk ke rumahnya, dan berjalan lurus masuk keruangan rumahnya yang gelap. “Sampai berjumpa besok.”
“Sampai jumpa.” Aku melihatnya masuk kedalam rumahnya dan sebuah perasaan takut akan kehampaan menyerangku. Melihat rumahku yang terang akan penerangan lampu, Aku benar-benar tidka bisa masuk kedalamnya jadi aku berbalik arah. Aku penasaran apa wanita kemarin masih tertarik untuk pergi berkencan denganku…

Thank's for reading in my blogger ^,^

No comments:

Post a Comment